DEMOKRASI APA ANARKISME ???
Kejadian yang menimpa Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat makin memperparah proses demokrasi yang sedang berjalan bagi bangsa ini. Demokrasi yang secara filosofi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Dari filosofi tersebut bukan berarti kedaulatan rakyat yang oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat membuat masyarakat semena-mena dalam menentukan segala keinginannya. Hal tersebut mempunyai mekanismenya sendiri sehingga setiap aspirasi yang masuk diproses hingga terwujudnya aspirasi tersebut dalam kenyataan.
Terlebih lagi menurut Ketua Panja Pembentukan Daerah Otonom DPR, Eka Santosa, kepada Persda Network "Soal usulan pemekaran Provinsi Tapanuli, sudah keluar dan sudah pada tingkat pengambilan keputusan saja sambil menunggu sarat-sarat administrasi lain yang kemudian akan dibahas kembali sebelum diambil keputusannya secara resmi. Soal sarat-sarat teknis menurut undang-undang pemekaran juga sudah terpenuhi. Apa pun sikap DPRD Sumatera Utara soal rencana pemekaran ini, sebenarnya hanya syarat administratif saja". Andaikan masyarakat Tapanuli masih bisa bersabar menunggu serta tetap memantau perkembangan dari proses pemekaran tersebut mungkin tindakan penyerbuan DPRD Sumut serta perusakan itu tidak akan terjadi. Padahal kita ketahui bahwa akibat aksi anarkis yang mengakibatkan kerusakan gedung anggota DPRD Sumut tersebut anggaran untuk perbaikan berasal dari APBD yang notabene merupakan uang rakyat. Berarti sama saja bahwa masyarakat itu sendiri yang rugi, sehingga banyak aspek yang harus dipakai dari uang APBD dikurangi akibat perusakan tersebut.
Menurut Guru Besar Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Prof Dr Muhammad Mustofa yang dikutip dari Dadan Muhammad Ramdan - Okezone mengatakan, tuntutan pemekaran yang disuarakan warga Tapanuli tersebut sebenarnya ada aturannya, bukan dengan pemaksaan kehendak. Guru besar kriminolog menilai tindakan brutal dalam berbagai unjuk rasa bukan masalah yang berdiri sendiri, tapi dampak dari reformasi yang tidak terkendali. Banyak orang menggunakan eforia dengan pemaksaan kehendak. Namun dalam anggapan pengunjuk rasa pemaksaan kehendak dan kekerasan tersebut dipandang sah-sah saja untuk memperjuangkan kepentingannya. Padahal cara cara seperti ini tidak benar dilakukan di alam demokrasi. "Secara sosialogis keadaan anomi ketika kerangka acuan nilai tidak dijadikan patokan mana yang benar dan mana yang salah. Maka wajar di sebagian kalangan aktivis ada kesan kalau tidak rusuh bukan demo namanya," jelas dia. Muhammad Mustofa juga mengharapkan peran media harus memberikan pebelajaran yang benar kepada masyarakat, tidak hanya memberitakan fakta peristiwanya. Menurut dia, media sebagai agen pengendalian sosial harus memberikan nilai kepada masyarakat jika cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak itu tidak benar. "Jangan memberitakan peristiwa tanpa ada sikap atau opini untuk pendidikan demokrasi masyarakat," harapnya.
Semoga kejadian tersebut memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk lebih bersikap bijak dan arif dalam menyampaikan aspirasi yang sebenarnya mulia tersebut, agar kejadian seperti ini dapat dihindari sedini mungkin.
5 komentar:
Sunnguh Memilukan, Kejadian Yang Mencoreng Nama baik Sumut
Kesabaran demi kesabaran .... kapan ka mereka mau mnegerti
mengenaskan, sangat-sangat mengenaskan. atas nama apapun kekerasan tetap kekerasan. ah...demokrasi!
memangnya salah dia apaa sih?
gak ngerti nih, (Buat apa gw ngerti ) hahahahah
visiting you and give NICE $mile just for you, ditunggu balesannya yach :)
Posting Komentar